BANJIR TANGGAL 3 NOVEMBER 2011

Banjir di Kecamatan Sutera Dan Kecamatan Lengayang pada tanggal 3 November 2011 yang memutuskan jalan lintas barat Padang - Bengkulu sekitar 100 m di Ds.Ujung Air Kecamatan Lengayang.









0 komentar:

Ada juga saingan jembatan akar kampung ku.......

Jembatan akar di Pulut-pulut.(atas)



Jembatan akar di Cherrapunjee india ini dikenal dengan sebutan “Umshiang Double-Decker Root Bridge.” Terdiri dari dua lapis jembatan, di atas dan dibawahnya.(bawah)

0 komentar:

Bagusan mana ya,negeri ku sama negeri orang ?

Pantai carocok Painan dengan pulau Batu Kereta dan pulau Cingkuknya (atas).


Pantai pulau Langkawi di Keddah Malaysia.

Permintaan,ntuk Parjock : jika nanti ambil gambar Pulau Batu Keretanya pakai kamera yang agak bagus ya,jangan dari kamera HP.Biar gambar pantai Carocok kita ini lebih bagus dari pantai Langkawi sana.. thanks ntuk bung Parjock.

Pembaca kasih koment ya......

0 komentar:

Salido Kecil Kampung Dengan Seribu Sejarah

 PLTA Salido Kecil

Salido Ketek, sebuah kampung kecil, sekitar 10 kilometer dari Kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.Disini semasa dahulu ada tambang emas yang dikelolah oleh pemerintahan Hindia Belanda.

kampung kecil ini sangat banyak menyimpan sejarah tentang kekejaman pemerintahan belanda maupun jepang kepada bangsa indonesia.

 Jembatan Air untuk menuju PLTA

di salido kecil ini ada sebuah pembangkit listrik tenaga air yang di bangun oleh belanda, untuk pemasok listrik pabrik semen di Indarung Padang.


Gunung Harun, merupakan tambang emas yang di masa kolonial dikenal sebagai tambang emas Salido. Hingga kini, konon, masih satu dua orang, yang rutin mencari emas di ketinggiannya. Pada abad-abad lalu, orang dari berbagai bangsa, sampai ke puncaknya untuk mendapatkan emas.

Jembatan Air untuk menuju PLTA

Langkah Memintas Matahari Terbenam
Pagi menunjukkan pukul 07.05 WIB. Kami mulai meninggalkan kedai Pak Bugih, yang terletak di penghabisan jalan aspal hotmix selebar dua meter. Jalan itu tertumbuk pada gedung Pembangkit Listrik Tenaga Mikro (PLTM) peninggalan Belanda yang bersisian dengan kedai Pak Bugih.
Kedai yang dikenal masyarakat sejak dari pertigaan jalan masuk ke Salido Ketek ini, seumpama media center bagi yang ingin mendapatkan informasi tentang para penambang yang sedang berada di Gunung Harun. Sebab, setiap penambang yang akan naik, selalu singgah dan bercerita di kedai itu.

Pak Ayat berjalan agak di depan. ”Jalannya agak licin, hati-hati,” kata Pak Ayat. Sepanjang perjalanan, ia lebih banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai mantan penambang di tambang Salido. Kami mulai menapaki jalan tanah yang becek dan licin selebar kurang lebih setengah meter. Semalam hujan turun agak deras di sini. Huff. Mudah-mudahan jalan lanyah berlumpur ini hanya beberapa meter saja, batin saya. Teringat ucapan Pak Ayat, harus sampai sebelum matahari terbenam. Artinya, kami bagai diajak memintas gerak matahari, agar tak terjebak gelap sebelum sampai di puncak Gunung Harun.

Ow! Ternyata tak hanya jalan tanah becek yang dilalui. Jalan setapak ke puncak bukit itu juga dipenuhi batu-batu berlumut dan lembab. Urat-urat kayu, yang juga berlumut dan licin, di tepi jurang dan bekas longsor pun menjadi jalur yang harus kami lalui. Setelah itu, kami pun menaiki bukit-bukit dengan jalur pendakian yang mendekati sudut 90 derajat.

Kedai Pak Bugih sudah jauh kami tinggalkan. Sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di seberang sungai Sariak dan sebuah ladang. Ya, ladang terakhir yang kami temui. Sebab, setelah itu hutan rimba. Di depan saya membentang jalan berlapis batu dan sembulan urat pepohonan.
Lebarnya tidak sampai satu meter. Berkelok masuk ke hutan, licin, berlumut, dan nyaris tertutup semak. Saya mulai merasakan suasana yang sangat asing. Apalagi, suara beruk jantan timpa-bertimpa, seperti menyoraki kami, terutama saya dan fotografer yang baru pertama kali melewati jalur berat ini, yang mulai tertatih. Sempat terlintas di benak saya betapa beratnya perjuangan mereka untuk mencapai tambang emas.

Karena jalan licin, kemiringan hampir 90 derajat, Pak Ayat menyarankan kami memakai tongkat sebagai penyangga tubuh dan langkah. Kami pun akhirnya mendapatkan kayu sebagai tongkat. Dalam perjalanan, kami melihat kayu-kayu besar bekas pembalakkan. Sebagian hutan tersebut berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang dalam ketentuan hukumnya dilarang menebang pohon di sana.

Jalur pencari emas ini membentang hampir 15 kilometer yang melintasi bukit Jalamu Ketek, dari ladang masyarakat di Sungai Sariak. Lalu, menyeberangi sungai dengan batu-batu besar berlumut, mendaki bukit Jalamu Gadang. Jalur itu terus menanjak hingga bukit Batu Kursi. Sebelum sampai ke pelabuhan (sebutan untuk puncak Gunung Harun bagi penambang), akan menemukan jalan mendatar atau menurun.
Ini dirasa sebagai sebuah kebahagiaan. Karena bisa menegakkan pinggang yang sedari tadi tertekuk dalam pendakian yang hampir tegak lurus itu.

”Sekitar tahun 1990 hingga 1996, jalan ini sangat ramai sekali. Ibaratnya, pasar oleh orang-orang yang naik-turun,” kata Ayat mengingat, sembari tetap berjalan, tanpa terlihat sedikit pun engah atau sesak napasnya. Memang, turun naik Gunung Harun, bagi Ayat sudah biasa. ”Ada sekitar 50 orang naik dan 50 orang turun bukit pada tahun tersebut. Sehingga jalur ini sangat ramai,” katanya.

Dulu, jalan mendaki yang kami tempuh menuju bukit Harun ini lebar. Di tengah jalan kita akan berpapasan dengan orang yang turun atau sebaliknya demi emas. Kadang karena ramainya ketika itu, tanpa sadar jalur ini terasa pendek. Kesibukan penambang turun naik ke Gunung Harun, berakhir tahun 1995. Cerita Pak Ayat, pada masa itu terjadi bentrok antarpenambang. Mereka berebut lahan lubang tambang. Perkelahian tak terelakkan.
Ditambah lagi, para oknum aparat yang mengaku sebagai polisi atau tentara, minta jatah ke penambang. Makin lama, hasil tambang yang didapat penambang makin berkurang. Karena merasa kurang nyaman, banyak ancaman, satu per satu penambang tidak lagi mengunjungi Gunung Harun. Lama-lama tak seorang pun yang mendaki untuk mendapatkan emas. Baru kemudian, sekitar 2004, ada satu dua orang yang kembali ke sana.

Di tengah perjalanan menuju pelabuhan, kami berpapasan dengan tiga orang yang baru kembali dari Gunung Harun. Dua di antaranya membawa batu-batu mengandung emas dalam karung yang dijunjung di kepalanya. Dari taksiran mereka, masing-masing karung itu beratnya sekitar 30 kilogram. Batu-batu yang dikenal dengan sebutan umpan itu, menurut Labai, salah seorang dari mereka bertiga yang tidak membawa batu, akan dibawa ke Padang sebagai contoh.

”Pesanan seseorang di Padang. Kabarnya, ada bahan kimia baru, selain air raksa, yang bisa memisahkan langsung emas dan perak. Tapi, harganya mahal,” tutur lelaki 60 tahun itu.

Labai juga bekas penambang. Dia juga eksis dalam periode 1990-an itu. Dari ceritanya, Gunung Harun masih mengandung banyak emas. Namun, karena ditambang secara manual dan tradisional, maka belum seberapa emas yang bisa diambil dari lambung bukit itu.

Berikutnya, jalur menurun yang tidak kalah terjal dari mendaki. Nampaknya, menurun dan mendaki sama saja di sini. Sama hampir tegak lurus. Dan, matahari, mulai berat condong ke barat. Kami merasakan sore menyambut.

”Sehabis penurunan ini, satu pendakian tegak lagi. Maka sampailah kita di pelabuhan,” sebut Pak Ayat, ayah dari empat anak laki-laki ini. Pelabuhan merupakan puncak bukit Gunung Harun. Di sebut pelabuhan, karena di puncak bukit itu, dulu pernah dibangun sebuah tempat pendaratan helikopter atau hellypad. Saat itu, penambangan dikelola PT Alam Peling.
Sekitar setengah hektare hutan di puncak bukit itu dibabat dan kayu-kayu gelondongannya dibuat serupa panggung untuk helikopter mendarat. Di sanalah para bos penambang itu turun dan melihat hasil usahanya. Melalui helikopter juga emas-emas diangkut. Di dekat pelabuhan itu, juga ada bekas jalan besar, yang kabarnya digunakan Belanda untuk mengangkut emas zaman dulu. Sekarang bekas jalan itu telah ditumbuhi pepohonan.

Menuruni Pelabuhan, Merebut Senja di Puncak

Menuruni pelabuhan menuju bukit berikutnya. Di sanalah lubang-lubang tambang itu berada. Kami melihat, sebuah lubang yang tertutup semak dan pohon kecil nampak menganga. Pintu lubang yang ditembok melengkung itu dipenuhi lumut dan tumbuhan menjalar. Pak Ayat menerangi jalan ke lubang dengan parangnya. Terngangalah dengan jelas lubang besar menembus lambung bukit itu. Batas penglihatan normal dalam lubang itu hanya sekitar 20 meter. Selebihnya, kelam. Perlu penerangan untuk masuk lebih jauh ke lubang itu.

”Di dalam lubang itulah para penambang mencari emas, yang di masa Belanda ratusan orang banyaknya,” kata Pak Ayat. Lubang dimaksud, lebih tepat disebut terowongan, karena lorongnya yang panjang dan gelap seperti tidak berujung.

Kami pun mendapatkan lubang tembok, salah satu dari lubang peninggalan Belanda di Gunung Harun. Kemudian, kata Pak Ayat, selain lubang tembok tersebut, banyak lagi tempat emas-emas dicari dulunya, seperti lubang Catharina, lubang Wihelmina, dan seterusnya. Masing-masing lubang berjarak 500 hingga 1.000 meter di lereng-lereng bukit berlapis itu. Bahkan, ada lubang-lubang yang terletak di tebing yang tegak lurus. Diperlukan tali untuk naik ke atasnya.

Sekitar 500 meter dari lubang tembok itu, agak ke bawah, terdapat lubang berair. Pintu lubang ini sebagian telah tertutup runtuhan tanah. Ada air mengalir serupa bandar kecil dari dalam lubang itu. Makanya disebut lubang berair. Di sekitar lubang berair itu, terlihat material longsoran berupa batu-batu karang masih memerah, belum ditumbuhi lumut atau rumput. Kabarnya, bukit terjal itu longsor akibat gempa 30 September 2009 lalu, yang melanda Sumatera Barat.

Dari bukit longsor itu, perjalanan kembali dilanjutkan, yang kata Pak Ayat menuju bedeng penambang yang masih beraktivitas di Gunung Harun. Hari mulai beringsut senja. Kabut mulai turun membawa hawa dingin. Sebelum gelap, kami harus sampai di bedeng itu. ”Sudah dekat. Setelah bukit longsor ini, satu penurunan lagi,” kata Pak Ayat, sambil menyandang kembali tas ranselnya mengakhiri istirahat di bekas longsoran itu.

Setelah bukit longsor itu, kami kembali masuk hutan, dengan jalan yang tidak berbeda dari sebelumnya, licin dan berbatu. Terus menurun menuju bedeng yang terletak di pinggir sungai di bukit.

Akhirnya, sampai jua kami di bedeng itu. Matahari masih terlihat. Belum sempurna terbenam. Seorang laki-laki kelihatan sedang berjalan menuju tangga bedeng yang terpaku pada sebatang pohon jengkol itu. Ia melihat kami datang. ”Apo kaba, Pak Dusun. Masuaklah,” katanya menyapa Pak Ayat, yang pernah menjabat kepala dusun di Mandiangin, Salido. Saya sempat mengitari pandang ke sekeliling. Ternyata, di puncak ini, sebelum kami tiba, hanya ada mereka berdua pemilik bedeng. Tak terbayangkan bagaimana mereka melewati malam, tanpa sesiapa yang lain di sini.

Lelaki yang punya bedeng itu bernama Syahrial, 40, berasal dari Lumpo. Di menambang emas di Gunung Harun bersama Amir, 45.
Bedeng itu berbentuk rumah panggung. Dibangun kokoh dengan kayu-kayu yang diambil di sekitarnya. Beratap terpal dan berlantai papan. Bagian atas atau lantai papan itu digunakan untuk tidur dan beribadah. Sementara lantai dasar atau kolongnya, dipakai untuk dapur dan menyimpan perbekalan untuk makan. Di sana ada sebuah peti, yang juga berfungsi sebagai tempat duduk.

Ketika malam betul-betul menyatakan sosok pekatnya, lampu togok yang terbuat dari botol diberi sumbu, menyala membunuh kelam. Saya menyadari, di ketinggian yang lengang, dingin dan sesekali terasa mencekam, hanya ada lima orang. Saya, Hijrah, Pak Ayat dan dua kenalan baru kami yang penambang, Syahrial dan Amir.

Sebelum tidur, setelah makan, kami ngobrol. Dalam obrolan, kami sama-sama mencatat data sejarah, kalau ratusan tahun sebelum bukit itu longsor, daerah Gunung Harun ini menjadi pusat penambangan emas di Salido. Suryadi, peneliti dan dosen Leiden University, pernah menuliskannya tentang hal ini. Pak Ayat, Syahrial dan Amir, mempercayai hal itu. Menurut perkiraan Suryadi, putra asli Pariaman ini, tambang emas tempat kami bermalam pada sebuah bedeng ini, merupakan tambang emas tertua di Sumatera, mungkin juga di Indonesia.

Pada masa dulunya di Salido ada sebutan ”demam Salido”. Di mana penguasa-penguasa kolonial dan pedagang dari berbagai bangsa berdatangan ke Salida. Mereka berebut emas di sana. Sesuai dengan maknanya, Salido berarti gerbang, sehingga ketika itu Salida betul-betul sebagai gerbang dunia, melalui jalur selatan Samudra Hindia.

Menjelang tertidur, api-api kecil seperti serangga berterbangan. Saya membayangkan kisah yang ternukilkan dalam cerita rakyat sekitar 1.000 tahun silam tentang Lumbung Emas Salido, sebagai penanda di bawahnya ada tanah menyimpan emas. (Gusriyono)
sumber : http://padangekspres.co.id

4 komentar:

Foto Painan Masa Lalu

Orang Eropa di Pantai Karang Sagoe Painan Tahun 1902
Sumber : commons.wikimedia.org

Pantai Painan tempo dahulu (tahunnya tidak diketahui)
Sumber : commons.wikimedia.org

Pantai Painan di era Tahun 1930 an
Sumber Foto :id.wikipedia.org


0 komentar: